Minggu, 14 Mei 2017

Hanya Ragaku Yang Mendua

Di bawah tangga jembatan layang aku duduk bersamanya. Di gelaran tikar usang yang sudah menipis dimakan waktu. Rasanya aku sekarang tidak duduk di atas tikar, tapi lebih tepatnya di atas trotoar. Aku dan dia hanya sesekali saling pandang dan melihati tikar bersamaan. Pandangan dan senyum kita seolah membicarakan hal yang sama, meski kita tidak saling mengatakan apa yang sedang kita pikirkan. Tidak pantas jika kita membicarakan tikar yang tipis di tengah keramaian, apalagi kita berdua sedang duduk di belakang penjual ketan susu langganannya. Bisa saja nanti ibu penjual yang memakai gelang seperti aktris India itu mendengar ocehan kita.





Baru kali ini aku datang ke tempat ini. Sebenarnya aku sudah lama mendengar tempat Ketan Susu Panti yang terletak di dekat alun-alun Kota Jember. Hanya saja, baru kali ini ada seseorang yang mengajakku bahkan, mentraktirku sepiring ketan susu dan secangkir susu coklat.
“Kamu sering ke sini?” tanyaku sambil melihat jalanan yang temaram. Jalan raya dua meter di depanku diterangi lampu jalanan berwarna kuning. Kendaraan berlalu lalang meramaikan jalan. Sesekali klakson mobil dan peluit tukang parkir terdengar bersahutan.
“Tempat ini sudah menjadi langgananku,” jawabnya. Aku sama sekali tak melihatnya saat berbicara. Aku menikmati jalanan. Keramaian dan kemacetan yang selama ini kubenci, kini kunikmati sambil sesekali tersenyum. Aku merasa ini hal yang baru. Duduk di trotoar lalu melihat banyak orang dan kendaraan sibuk dengan urusan masing-masing.
Sesekali aku mendengar suara tawa beradu dari kanan dan kiriku. Ada segerombolan anak muda yang bersenda gurau, ada juga sepasang pemuda-pemudi yang duduk berdua saling tersenyum, bahkan saling memandang. Aku memperhatikan mereka satu persatu. Mengusir segala bayang yang menggangguku hari ini. Nyatanya, di setiap tempat aku berada, ada sepasang pemuda-pemudi yang membuatku selalu berandai-andai. Andai saja mereka itu aku dan sosok nan jauh di sana.

“Ini pesanannya.” Seorang gadis muda membawa nampan berisi dua piring ketan susu, segelas susu coklat panas, dan segelas lagi kopi susu.
Dia mengambil ketan susu dan menyangga piringnya. “Coba rasakan ketannya, pasti kamu ketagihan,” ucapnya sebelum menyendokkan ketan itu ke mulutnya.
Aku mengikutinya mengambil sepiring ketan susu di hadapanku. “Benarkah?” tanyaku sambil tersenyum merekah. Aku memejamkan mata sambil bergumam, “Emm…” disambut tawa renyah oleh dia. Aku memandangnya lalu ikut tertawa.
“Lumer di lidah,” kataku. Dia hanya tersenyum lalu menyendokkan lagi ketan ke mulutnya.
Kulihat secangkir susu coklat panas mengepul di hadapanku. Kuletakkan piringku, lalu kuambil cangkir itu. Kuhisap pelan-pelan. Aku dan dia terdiam, sibuk dengan hidangan masing-masing. Benar katanya, ketan susu ini memang enak. Manis dan gurih. Parutan kelapanya putih. Aku mengunyah ketan itu dengan pelan sambil melihati jalanan. Merasakan dingin yang merasuk. Angin malam membelai kulit kuning langsatku.

Berulang kali aku menghibur diriku sendiri, mencoba menyatukan diri dengan suasana di sekitarku. Berpura-pura menikmati semua yang ada di hadapanku. Nyatanya, tetap saja bayangannya menggelayuti benakku. Membuatku selalu menghadirkan wajahnya di setiap pandanganku. Meski itu hanya angan. Tapi membayangkannya saja sudah membuatku semakin dekat dengannya.
Benar kata orang, semakin keras kita ingin melupakan, semakin dekat pula ingatan tentangnya. Kukira bersanding dengan lelaki lain akan membuatku lupa dengannya. Membuatku akan semakin cepat menghapusnya dari hatiku. Nyatanya, banyak kata bersalah yang bermunculan. Banyak tanya yang menghantui. Dan banyak ketakutan yang membunuhku. Sama sekali tidak ada kenyamanan yang aku rasakan saat aku mencoba bersama dengan yang lain.
Untuk seseorang yang jauh di sana, jika kamu tahu malam ini aku menerima ajakan lelaki lain untuk duduk berdua seperti ini, kamu akan marah. Tapi ini kulakukan bukan tanpa alasan, karena aku tahu kamu juga pernah bersama wanita lain. Meski hanya kulihat dari foto, tanpa kutahu apa yang sebenarnya kalian lakukan. Tapi foto itu berhasil mengiris dan memporak-porandakan hatiku.
“Sudah selesai makannya?” Aku terhenyak kaget mendengar suara maskulin di sebelahku.
“Sebentar lagi,” jawabku mengulur waktu. Mengingat sosok itu membuatku enggan untuk menghabiskan makanan di hadapanku, sekali pun orang lain mengatakannya enak.

Aku ingin berlama-lama di sini, bukan karena aku sedang bersama lelaki di sampingku. Tapi di sini, aku merasa lebih baik. Di tengah-tengah keramaian, aku tidak lagi disibukkan dengan bayangannya. Meski bayangannya masih melekat jelas.
Aku memandang lelaki di sampingku. Dia sibuk dengan ponselnya. Yah begitulah, dia memang sosok yang pendiam. Kami hanya teman. Tidak lebih. Aku berani menerima ajakannya, karena kami hanya teman. Dan aku juga tidak perlu takut tentang perasaan ini, perasaanku tetap untuk dia nun jauh di sana.
“Kurasa sudah,” ucapku kemudian. Bersama lelaki di sampingku sama sekali tidak membuatku lebih baik. Aku memutuskan untuk cepat pulang.
“Baiklah, aku akan mengantarmu pulang.” Dia beranjak dari duduknya. Aku mengekor di belakangnya. Lalu aku menunggunya di parkiran pinggir jalan, sedangkan dia masih membayar makanan kami.

Sesekali kita berbincang di atas motor. Membicarakan kegiatan kampus dan kegiatan hobi lainnya. Lelaki yang sedang memboncengku tidak tahu saat ini aku sedang berjuang melupakan seseorang. Menahan rasa sakit yang dari kemarin masih terasa nyerinya di hatiku. Yang dia tahu, saat ini aku bahagia, karena aku bisa tertawa. Meski sebenarnya tertawa yang terdengar renyah ini adalah tawa yang kubuat-buat. Tidak mudah memang, berusaha terlihat baik-baik saja. Tapi ini jauh lebih baik, dari pada semua orang harus tahu apa yang aku rasakan.
“Terima kasih.” Aku tersenyum kepadanya. Dia membalas senyumku. Tidak ada ucapan perpisahan yang terucap dari kita. Aku membuka pintu pagar dan masuk ke rumah.
Aku menghembuskan napas berulang-ulang. Menata hatiku agar lebih baik dari sebelumnya. Pandanganku menerawang jauh tembus ke tembok depanku. Di sana seperti slide film. Memperlihatkan bayanganku bersamanya beberapa bulan lalu. Mengingat semuanya membuatku semakin sesak.

Kuletakkan tas rajut berawarna puih hijau kesukaanku di atas meja. Tiba-tiba ada yang bergetar di dalam tasku. Kulihat, ternyata ponselku. Dia menelepon. Ponselku aku genggam, dan aku berpikir apakah harus aku menerima teleponnya. Aku membencinya, tapi di sisi lain aku juga merindukannya. Aku biarkan begitu saja ponselku, lalu mati dengan sendirinya. Saat aku akan melangkah meninggalkan meja, ponselku berbunyi lagi. Aku kembali dan kulihat namanya lagi yang terlihat di layar. Aku menggigit bibirku keras-keras. Merasakan kebingungan yang semakin membelit benakku. Akhirnya, kuputuskan menerima teleponnya.
“Hallo.” Aku mencoba tenang.
“Hallo.” Terdengar suaranya bergetar. Mungkin di seberang sana dia sedang mengumpulkan keberanian untuk menghubungiku.
“Emm.” Aku hanya menggumam. Aku sendiri juga tidak tahu apa yang harus kukatakan.
“Senang rasanya bisa mendengar suaramu, Tisha.” Berdesir hatiku mendengar dia mengucapkan itu. Tapi tidak, itu hanya rayuannya agar aku mau memaafkannya.
“Apa yang ingin kau katakan? Ucapkan saja!” ucapku ketus.
“Kau masih terdengar dingin.” Dia terdengar menghembuskan napas keras-keras.
“Ini juga karenamu,” jawabku dingin.
“Ada hal yang perlu kau tahu.”
“Apa? Tentang perselingkuhanmu?” Suaraku terdengar lebih keras.
“Tisha, dia hanya temanku. Kamu tahu sendiri, kan? Di foto itu kita hanya bermain musik. Tidak melakukan hal lebih.” Dia terdengar menggebu-gebu menjelaskan kepadaku.
“Aku tidak sedang di sana, dan aku juga tidak bisa memastikan apa benar kalian hanya bermain musik.”
“Oh Tuhan, percayalah padaku. Kita tidak sedang berdua di sana. Banyak orang. Sedikit mengertilah, aku berteman dengan banyak wanita. Teman kuliah, teman musik, teman organisasi, dan lainnya. Semua itu hanya teman.” Dia belum juga menyerah menjelaskan padaku.
“Apa bisa dipercaya?” Suaraku masih terdengar masih dingin.
“Tisha, jika kamu melihatku bersama wanita lain, bukan berarti aku menyayanginya.”
“Itu berarti aku harus mempercayaimu setiap kau berduaan dengan wanita lain?” Emosiku semakin memuncak mendengar pernyataannya.
“Dengan catatan apa yang aku lakukan masih terlihat wajar. Kau mengerti maksudku, kan?” Ada penekanan yang terdengar di kata terakhirnya. Dia benar-benar ingin aku mempercayainya.

Kupikir, dia memang tidak melakukan hal lebih di foto itu. Jika pun itu adalah wanita simpanannya pasti ada komentar mesra saat dia mengunggah foto itu di sosial medianya. Buktinya, tidak kutemukan hal itu. banyak orang yang berkomentar, juga tidak mengatakan hal yang mencurigakan seperti kata “cie” atau apapun itu.
“Dia baru belajar musik, kupikir dengan mengunggah fotonya saat bermain musik akan menyemangatinya. Nyatanya, malah membuat salah paham seperti ini,” jelasnya lagi.
Ya, aku harus bisa mengerti. Juan memang orang yang sangat perhatian kepada siapapun. Aku saja yang selalu mengartikannya lebih.
“Iya, aku mengerti, Juan.” Akhirnya aku luluh dan mempercayainya.
Jika malam ini aku ke luar dengan lelaki lain, juga bukan berarti aku menyayanginya, ucapku dalam hati.